Potret tahun baru
1 muharam adalah awal tahun baru Islam. Sekaligus sebagai  pos perenungan diri atas apa yang telah dilakukan  di hari-hari dalam setahun itu dengan harapan di tahun mendatang  akan membawa  pada pengharapan baru yang semakin bagus baik akhlak maupun pekerti  seorang insan. Itulah cita-cita agung dalam memaknai hidup sebagai hamba yang taat pada sang pencipta bagi kaum muslimin. Pendewasan diri serta pendekatan kepada Sang Kholik menjadi tujuan mulai untuk menatap dan membuka lembaran di tahun yang baru.
Hal yang kontroversial sekali dengan keberadaan tanggal 1 yang  jatuh tepat pada awal bulan  Januari yang ternyata  lebih ampuh  menyeret anak bangsa pada arus budaya barat yang semakin mengkhawatirkan. Meski atas  nama ”Demokrasi”, namun apakah sebagai generasi yang tahu etika dan berintelek tinggi turut memeriahkan tradisi kaum barat??.
Di Negara berkembang termasuk Indonesia perayaan tahun baru masehi memang sudah membudaya.  Sejak nenek moyang  lahir tradisi ini sudah menjamur pesat. Berlangsung puluhan tahun  ternyata tak membuatnya harus  larut termakan oleh  zaman. Justru  perayaan yang hanya hadir setahun sekali ini selalu di gandrungi dan ditunggu-tunggu oleh penikmatnya. Padahal  kontroversi yang di dihadirkan juga tak  jauh dari penghianatan terhadap masa depan bangsa sendiri.
Mungkinkah Dunia ini sedang terbalik?mungkin saja.  Sering  kita lihat berbagai kegiatan  yang kelihatanya positif  dan mengatasnamakan kebersamaan namun nilainya ternyata negatif. Mulai dari panggung gembira yang sengaja di adakan di sudut-sudut atau pusat  kota untuk menyambut sebuah perayaan tahun baru. Di sana  antusias  masyarakat  membaur  penuh suka cita. Mereka berjoget. Bergoyang. Meniup terompet. Menyalakan kembang api. Berteriak. Bernyanyi bersama. Tapi sambil menenggak minuman keras bahkan narkoba. Dilanjutkan lagi dengan  konvoi di jalanan  menggeber sepeda motor  berarak-arak hingga tak mempedulikan keamanan  diri maupun lingkungan sekitar. Kemudian di akhiri  malam tirakatan. Dan agar betah melek lalu banting kartu. Mereka pun berjudi hingga pagi. Padahal apapun alasanya judi itu tidak baik. Serta  panggung gembirapun tujuanya juga  tak jelas hanya untuk sekedar hura-hura menghamburkan uang. Akan lebih bermanfaat jika uang di sedekahkan dan panggung gembira diganti dengan pengajian akbar sebagai wujud pemantapan  diri untuk membuka harapan baru kepada tuhan sang Pencipta.
Hal yang aneh bukan? Negara yang khusuk  adat ketimuranya ramah serta unggah-ungguh dan santun bertutur sapa, kini  luntur oleh kemeriahan tahun baru  yang telah membius masyarakat .
Tak dipungkiri memang sebuah perayaan diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat  sebagai wujud kegiatan untuk mengakrabkan antar sesama. Namun jika harus di warnai kebodohan etika apakah harus sedemikian parahnya? Lantas mau jadi apa Negara ini?.
Tampaknya Negara ini lupa pada sejarah yang ada.  Seperti kita ketahui tradisi perayaan tahun baru di beberapa Negara zaman dahulu terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka sebagai wujud syukur kapada tuhanya. Di Brazil. Pada tengah malam setiap tanggal satu Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menabur bunga di laut, mengubur mangga, papaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang Dewa Lemanja –Dewa Laut yang terkenal dalam legenda Negara Brazil. Seperti halnya di Brazil, orang  Romawi kuno pun saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci untuk merayakan pergantian tahun. Belakangan, mereka saling meberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar janus, Dewa Pintu dan semua permulaan. Menurut sejarah, bulan januari diambil dari nama dewa bermuka dua (satu muka menghadap ke depan yang satu lagi menghadap ke belakang).
Sedangkan menurut kepercayaan orang Jerman. Jika mereka makan sisa hidangan pesta new year’s Eve di tanggal 1 januari, mereka percaya tidak akan kekurangan pangan selama setahun penuh. Bagi orang Kristen yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun baru dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama masehi.
Berbeda dengan perayaan tahun baru hijriah. di masyarakat kita  ini yang terkesan lebih jauh menyimpang,  malam Muharam yang sering dikenal malam suronan lebih di peringati dengan malam berbau klenik, sebuah kepercayaan kejawen yang orang jawa bilang malam suro adalah malam sakral untuk menggelar berbagai ritual persembahan terhadap makhluk halus. Mulai dari “memandikan” pusaka, jimat-jimat lalu kendurian di punden-punden, tirakatan, bersemedi di tempat angker, “puasa  ngebleng, puasa mutih, puasa pati geni” yang konon semua itu untuk memperoleh keberkahan bulan suro itu sendiri. padahal jika di nalar segala aktivitas peringatan tahun baru yang digelar  jauh dari makna peringatan tahun baru untuk memulai segala harapan baru sebagai makhluk yang bertuhan.
Sungguh bentuk pembengkokan terhadap kepercayaan yang melenceng jauh dari umat yang mengakui adanya Tuhan.
Tahun baru hijriah sebenarnya di mulai dari hijrah (pindah) Rosul bersama Abu bakar dari Mekkah ke Madinah. Ketika itu tidak gampang bagi nabi Muhammad dan pengikutnya untuk melakukan perjalanan 250 mil di bawah terik matahari yang tak kurang menghabiskan waktu Sembilan hari  dengan fasilitas masa itu. Di tempat baru nabi juga menghadapi Tantangan besar bagaimana mengukuhkan solidaritas sosial di antara warga Madinah yang terbelah untuk  menjadi masyarakat baru yang  memiliki keadaban dan berkeadilan.
Sungguh ironis hijrahnya nabi di peringati dengan perbuatan nyleneh?
Jika di kaitkan dengan perayaan tahun baru saat  ini perayaan tahun baru  nyata   mengalami pergeseran yang memprihatinkan. Perkembangan di berbagai lapisan dengan di barengi kecerdasan intelektualitas umat manusia yang canggih  justru “memblingerkan“ manusia itu sendiri, niat perayaan suka cita bersama hanya untuk hura-hura padahal  dampaknya pada pencelakaan masa depan bangsa secara masal. Yang akhirnya kehancuran menjadikan runtuh bangsa sendiri